Babak Baru

Menginjak di tengah perjalanan kami menempuh perkuliahan aku mendapati masalah yang cukup krusial, haduh bukannya memang selalu krusial ya?. Tak begitu, masalah ini cukup serius, bukan tentang diriku tetapi Danendra. Danendra? mengapa dia? aku ingat betul kejadian tempo itu, pagi menjelang siang yang seharusnya Danendra masih disibukkan dengan jadwal perkuliahannya, namun ia malah memilih untuk pulang, dengan mata berkaca-kaca serta semburat emosi dalam dirinya ia jatuh lunglai diatas dinginnya lantai kos itu. Hatiku bingung penuh tanya, ingin sekali rasanya menanyakan perihal apa yang membuat diri Danendra penuh frustasi, tetapi aku takut. Diriku hanya mencoba memberikan Danendra sedikit ketenangan dengan memberikannya kata semangat "hei, kenapa? jangan takut, ada aku" kurang lebih seperti itulah sepatah kata spontan yang terucap dari bibirku. Bukan tenang tetapi Danendra semakin memuncakkan amarahnya, dari sepenggal kata-kata yang sebetulnya tak begitu jelas ku dengar aku menyimpulkannya sendiri. Setelah perdebatan yang cukup panjang, Danendra memberontak mengemasi semua barang-barangnya lalu dengan kepala penuh amarah ia memutuskan untuk meninggalkan kota kecil ini dan enggan menginjakkan kakinya kemabali kesini. Sebenarnya hingga detik ini saat kutuliskan cerita ini, aku tak tau pasti alasan apa yang membuat Danendra dalam sekejap membenci kota ini. Ia pulang dengan terburu-buru, tangan kecilku tak kuasa menahan berontakan tubuhnya, motor itu melaju dengan kencang meninggalkan kota ini. Dengan perasaan penuh kekhawatiran aku bergegas mengambil ponselku lalu mengirimkan pesan kepada Danendra, sesekali juga mengirim pesan panggilan kepadanya. Nihil, hingga pertengahan hari tak kunjung kudapati balasan dari pesan-pesan yang telah kukirimkan kepada Danendra. Dengan perasaan kalut dan tak tenang air mataku luruh membasahi pipi ini, Tuhan aku begitu mengkhawatirkan kekasihku, mengapa dirinya ya Tuhan. Tak lama ponsel ku bergetar, kulihat sejenak pemberitahuan itu, Danendra! ya! Danendra membalas pesanku, segera kubuka pesan itu, tangis pecah tak bisa terbendung lagi dari mata sayuku ini. Danendra ingin hubungan ini berakhir, lah bukannya momen yang tepat? bukankah momen ini yang ku tunggu-tunggu? tetapi diriku benar-benar tak ingin meninggalkan pada momen terrendahnya, lukaku memang tak kunjung memulih karenanya, tetapi cintaku selalu mengalir deras kepada kekasihku itu. Dengan penuh permohonan aku tak ingin mengakhiri hubungan ini, aku tak ingin berakhir dengan posisi dirinya yang hancur, tak mengapa bila Danendra meminta untuk mengakhiri hubungan ini karena telah melabuhkan hatinya kepada bunga yang lain. Tetapi aku tak bisa hubungan ini berakhir dalam posisi dirinya yang tak baik-baik saja, hei Danendra.. lihatlah diriku, sederas apapun hujan yang mengguyurmu tak akan pernah kulepaskan payung yang senantiasa meneduhimu, Danendra.. aku memeluk semua lukamu, kau tak perlu takut. Kukirim untaian-untaian kata penenang kepada kekasihku itu, sungguh aku tak akan tega melihatnya hancur. Lihat, bukankah itu ketulusan cinta? aku tak akan pernah bisa membencinya, sesakit apapun luka yang terpatri dalam diriku. Hari itu berlalu, Danendra menghilang tak kunjung ada kabar, salah seorang keluarga Danendra memberiku kabar yang dimana Danendra dalam kondisi hilang kendali. Atas seizin keluarga Danendra, diriku segera pergi untuk menjumpainya, sesampainya disana kutemui Danendra dengan kondisi yang amat berantakan serta emosi yang masih menguasai dirinya. Dengan perasaan sedikit takut kuhampiri dirinya "hei, kenapa? tak perlu takut, kamu tidak gagal, kamu hanya memilih jalanmu sendiri, kau tetap berharga dimataku Danendra" kurang lebih seperti itu ucapku dulu kepada Danendra, ya walaupun aslinya tak sedramatisir itu. Mulanya Danendra berontak padaku, namun dengan penuh kesabaran kutenangkan dirinya hingga benar-benar tenang. Terlintas dalam benakku, tak mungkin aku meninggalkan Danendra dalam posisi terendahnya, benar-benar tak punya hati bila kupilih jalanku untuk menjauh dari Danendra pada saat itu. Persetan dengan semua rasa sakitku, nyatanya aku lebih sakit melihat Danendra hilang arah, ya walaupun arah hidupku sendiri sudah jauh dari navigasi. (Membasuh - Hindia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Canda tawa dan juga luka?

Aku, Enola

Setitik luka